Showing posts with label peluang usaha. Show all posts
Showing posts with label peluang usaha. Show all posts

Friday, December 9, 2011

Peluang Bisnis Ekspor Gambir / Gambier

Salah satu komoditas ekspor dari indonesia adalah gambir / gambier yang digunakan untuk berbagai keperluan industri terutama negara tujuan ekspor seperti india dan afrika.



Gambier Extract (Uncaria Gambier)

Gambier extract is a unique commodity from West Sumatera. Gambier is processed from the dried sap extracted from leaves and small twings of the gambier and multiple applications, such a tanning and dyeing substance in pharmacy, leather and textile industies.

We can supply the following grade gambier:

Gambier Bootch
Gambier Coin
Gambier Superior
Cube Black Gambier
Cube Brown Gambier

Please Contact : oke.farida@gmail.com
+62-21-73888872

Wednesday, December 7, 2011

Sunday, September 18, 2011

Ternyata Minyak Kelapa Yang Paling Sehat

Minyak kelapa saat ini sepertinya kurang populer bagi ibu-ibu modern,tapi ternyata minyak goreng yang paling aman bagi tubuh kita dan masakan yang dihasilkan lebih lezat rasanya .

Minyak goreng tradisional warisan nenek moyang bangsa Indonesia yang telah begitu lama kita tinggalkan ini ternyata juga sangat baik bagi kesehatan dan penghindar kanker, bukan minyak kedelai, minyak bunga matahari, minyak canola, minyak zaitun, apalagi margarin atau minyak sawit.


Keunggulan lain:

1 . Terbuat dari 100% daging kelapa segar (bukan kopra)
2 . 100% tanpa bahan pengawet
3 . Lebih cepat panas
4 . Masakan lebih nikmat

Tentunya Indonesia sebagai salah satu produsen kelapa terbesar di dunia punya kesempatan besar untuk bisa mengolah minyak kelapa ini dan memimpin industri ekspor fresh coconut oil ini.

Monday, September 5, 2011

Peluang Bisnis Ekspor Beras Organik Masih Besar

Kabupaten Tasikmalaya boleh berbangga karena keberhasilannya melakukan ekspor beras organik keberbagai negara maju seperti Amerika dan Eropa, diperjuangkan oleh salah satu petani andalannya yaitu Pak U'u dan kelompok tani yang tergabung dalam Gapoktan.


Saat ini gapoktan memiliki sebuah pabrik penggilingan beras yang sangat modern, sehingga hasil beras yang telah diproses bermutu bagus dan suplai beras organik yang cukup banyak hasil dari hampir 350Ha lahan pertanian beras organik di Tasikmalaya.

Hebatnya sertifikasi beras organik yang dimiliki adalah sertifikat standar eropa, amerika dan jepang, sehingga terjamin kualitasnya.

Hidup petani Indonesia !

Sunday, August 21, 2011

Sukses Ekspor Beras Organik Dari Tasikmalaya

Tak ada yang mengira kalau dara ini salah satu sosok penting di balik suksesnya Indonesia mengekspor beras organik untuk pertama kali. Dia akrab dengan petani. Ia bersentuhan langsung dengan mereka. Dia juga bukan tipikal pengusaha yang gemar menekan petani kecil. ”Aku mau petaniku menjadi yang paling maju, paling sejahtera hidupnya, dengan menjadikan mereka sebagai pengusaha kecil,” kata Emily Sutanto, pendiri sekaligus Direktur Utama PT Bloom Agro, di Tasikmalaya, Jawa Barat.

Emily mengekspor beras organik bersertifikat ke Amerika Serikat. Tahap awal pengiriman sebanyak 18 ton. Pengapalan ekspor beras organik perdana ini dilakukan pada akhir Agustus tahun lalu melalui Pelabuhan Tanjung Priok, Jakarta.

Seperti dikutip dari Harian Kompas, Ekspor Beras organik  tak sembarang organik, tapi organik bersertifikat. Kata ”bersertifikat” sekadar membedakan produk beras organik ini dengan beras ”organik” yang ada di pasaran, tetapi sesungguhnya tak mengikuti standar produksi beras organik.

Sertifikat beras organik dikeluarkan Institute for Marketecology, lembaga sertifikasi organik internasional, berbasis di Swiss, yang terakreditasi mendunia. Logo sertifikat yang dikeluarkan pun tak tanggung-tanggung, langsung untuk tiga negara, yakni AS dengan US Department of Agricultural National Organic Program, Uni Eropa, dan Jepang dengan Japanese Agricultural Standard.

Dengan kata lain, beras organik itu sudah mendapatkan ”paspor” untuk masuk ke negara-negara yang paling ketat memberlakukan sistem keamanan pangannya di dunia. Beras organik ini diproduksi oleh para petani kecil di tujuh kecamatan di Tasikmalaya, Jabar. Mata rantai dalam sistem perdagangan pun mengadopsi prinsip fair trade, yang oleh Menteri Pertanian kala itu, Anton Apriyantono disebut-sebut sebagai yang pertama dilakukan oleh pengusaha beras ekspor Indonesia.

Dengan mengadopsi prinsip fair trade atau sistem perdagangan berkeadilan, tujuan menyejahterakan petani bukan lagi omong kosong. Bila suatu kali kedapatan petani organik mengalami tekanan harga, pemutusan kontrak kerja sama ekspor terjadi.

Oleh karena alasan fair trade dan kemanusiaan itulah, Emily tak akan mau menekan harga beli beras. Usaha penggilingan padi yang dapat memberikan nilai tambah bagi petani yang dikelola Gabungan Kelompok Tani (Gapoktan) Simpatik bantuan Departemen Pertanian ini dibiarkan tumbuh bersama.

Dia tak harus membeli beras dari petani, tetapi cukup melalui Gapoktan Simpatik agar petani mendapat nilai tambah. Gabah organik setelah diproses di penggilingan milik petani menjadi beras dibeli Emily dengan harga Rp 8.000 per kilogram.

Dengan harga beli yang tinggi, Gapoktan membeli gabah kering pungut dari petani anggotanya dengan harga Rp 3.500 per kilogram atau lebih tinggi Rp 1.500 dibandingkan gabah nonorganik.

Pada tahap ini jalur perdagangan semakin pendek dan tidak ada celah bagi tengkulak.
Semakin mantap lagi posisi petani ketika model penanaman padi dengan sistem intensif membuat ada petani yang mampu meningkatkan produktivitas padinya hingga menghasilkan 10 ton gabah kering panen.

Dengan produktivitas setinggi itu, pendapatan kotor petani dalam satu musim tanam (empat bulan) bisa sekitar Rp 35 juta. Apabila dalam setahun padi bisa ditanam tiga kali, pendapatan kotor petani dengan lahan 1 hektar dapat menembus Rp 105 juta.

Mulai dari nol

Kisah perjumpaan Emily dengan beras organik terjadi secara tidak sengaja. Peraih gelar master bidang Manajemen Internasional dan Mass Communication dari Pepperdine University, Los Angeles, California, dan Bond University, Australia, ini pada awal 2008 ditawari Solihin GP, yang dia sebut sahabat keluarganya.

”Bapak Solihin GP waktu itu mengatakan, ’Mau enggak kamu bantu petani? Mereka (petani) mau ekspor beras organik, tetapi pemerintah belum bisa berbuat apa-apa’,” kata Emily mengutip permintaan mantan Gubernur Jabar itu.

Kala itu Emily masih ragu. Dia sangsi, apa benar ada beras yang benar-benar organik di Indonesia. Karena gamang, ia lalu pergi ke Tasikmalaya, dan melihat langsung proses produksi beras organik.

Emily terpana. Mengapa selama ini konsumen beras organik dunia hanya tahu beras organik Thailand saja? Padahal, di Indonesia beras organiknya jauh lebih bagus. Produk beras organik yang dihasilkan begitu orisinal. Secara fisik, beras organik itu lebih empuk dan berat, pertanda banyak kandungan serat dan vitamin.

Proses produksinya juga penuh cinta karena dilakukan secara tradisional. Makin terpikat lagi Emily ketika tahu semangat petani yang berapi-api untuk mengekspor beras organik itu. Namun, mereka tak tahu bagaimana caranya. ”Kalau beras organik dari petani bisa diekspor, ini bisa memacu semangat petani untuk lebih maju,” katanya.

Langkah selanjutnya giliran sertifikasi. Emily menjalani proses ini sampai tiga bulan. Dia memerlukan sertifikasi itu, dengan pertimbangan agar ke depan produksi beras organik bisa berkelanjutan. Di sini perlu diterapkan sistem pengawasan yang dilakukan internal dalam kelompok antarpetani. Dalam hal ini kejujuran petani benar-benar diuji.


Setelah produknya beres, mulailah ia melirik pasar ekspor. Kebetulan dari Cornell University, AS, juga sedang menggarap produk pertanian organik. Jadilah dia dipertemukan dengan calon pembeli, Lotus Foods, yang sangat mendukung program pelestarian lingkungan.

Organic Rice

Potensi Ekspor Bisnis Jamur

Sukses dengan berbisnis jamur tentu bukan hanya isapan jempol belaka. Semua orang memiliki peluang yang sama untuk bisa meraih sukses melalui bisnis jamur. Salah satunya yaitu Ir. Eddy W. Santoso yang sukses  membudidayakan jamur lingzhi, hiratake, shiitake, hon shimeiji, jamur tiram, jamur kuping, maitake, dan enoki.

Memulai usaha budidaya jamur di saat krisis moneter terjadi, tentu bukan perkara mudah bagi seorang Eddy W. Santoso. Pada awalnya lelaki lulusan Teknik ITB ini tidak tertarik untuk terjun menekuni bisnis budidaya jamur. Beliau lebih berminat menekuni bisnis komputer sebagai peluang usaha yang sesuai dengan latar belakang pendidikannya. Namun sayang, perjalanan bisnis komputer yang telah dijalankannya selama 15 tahun ini harus gulung tikar diterjang badai krisis moneter yang melanda Indonesia pada tahun 1997.

Kegagalannya dalam menjalankan bisnis komputer membuat Eddy harus berpikir keras dan berusaha bangkit dari keterpurukan yang sedang Ia alami. Saat itu permintaan komputer nyaris terhenti, sehingga Ia harus mencari peluang bisnis baru yang lebih menjanjikan di tahun-tahun yang akan datang.

Sejak kejadian tersebut, setiap harinya Eddy melakukan riset pasar dan belajar dari para pengusaha sukses yang ada di sekitarnya. Dan setelah melakukan pengamatan yang cukup lama, Eddy pun menjatuhkan pilihannya untuk menekuni bisnis jamur sebagai usaha barunya. Peluang tersebut diambil Eddy karena pada dasarnya tanaman jamur cukup mudah untuk dibudidayakan, terutama di daerah dingin seperti Jawa Barat. Selain itu kandungan gizi pada jamur juga cukup tinggi, sehingga peluang pasarnya pun masih sangat terbuka lebar.

Setelah tiga tahun menjalankan bisnis budidaya jamur, Eddy semakin optimis bahwa dirinya tidak salah memilih peluang bisnis. Pasalnya dari tahun ke tahun, permintaan pasar jamur semakin menunjukan peningkatan yang cukup tajam. Bahkan bisnis jamur yang dikembangkan Eddy belum bisa mencukupi permintaan jamur di sekitar kota Bandung dan Jakarta.

Melihat permintaan jamur (terutama jamur hiratake dan jamur lingzhi) yang terus meningkat, Eddy pun mengembangkan bisnisnya dengan memanfaatkan kurang lebih 1 hektar lahan yang ada di Lembang untuk membudidayakan jamur. Tidak hanya itu saja, Eddy pun menggandeng para pemuda pengangguran di sekitar lokasi tersebut untuk diberikan pelatihan budidaya jamur sebelum mereka direkrut sebagai karyawan PT. Teras Desa Intidaya. Bahkan kesuksesan bisnis jamur Eddy tidak berhenti sampai disitu, untuk memperluas bisnis jamurnya Ia pun menjalin kerjasama dengan beberapa petani plasma guna mencukupi permintaan pasar jamur obat yang terus meningkat.

Kini di tengah kesuksesannya menjalankan bisnis budidaya jamur, Eddy tidak pernah lelah untuk berusaha memberikan nilai lebih kepada masyarakat sekitar dengan mengenalkan macam-macam jamur dan manfaatnya bagi para konsumen. Selain itu Eddy juga berharap, agar masyarakat Indonesia mulai mengembangkan bisnis jamur karena potensi pasar lokal maupun internasional masih sangat terbuka lebar.

Semoga kisah sukses pengusaha jamur ini bisa menjadi inspirasi bagi para pembaca, khususnya para pemula yang tertarik menekuni bisnis jamur. Ingat, selalu ada peluang bagi siapa saja yang mau tekun dan terus berusaha. Mulai dari yang kecil, mulai dari yang mudah, mulai dari sekarang.

Potensi ekspor


Untuk jamur merang, sementara ini petani di sejumlah daerah di Jateng,Yogyakarta, Jabar bahkan Jakarta juga sudah membudidayakan secara komersil. Sebagian produksinya bahkan sudah diekspor ke berbagai negara melalui perusahaan lain. Memang kinerja ekspor produk jamur-baik berupa jamur segar, beku, kering, dan diasinkan maupun kemasan-Indonesia dari tahun ke tahun terus menurun (lihat tabel). Penurunan itu  mulai sejak 1994 hingga tahun lalu. Namun banyak pihak yang optimistis tahun ini akan kembali meningkat seiring dengan minat pembeli di luar negeri yang cukup tinggi.

Jateng termasuk daerah utama produsen jamur merang dan telah menembus pasar ekspor. Selama semester pertama tahun ini, misalnya, ekspor jamur merang Jateng tercatat 11.800 ton senilai US$12,1 juta ke AS, Australia, Taiwan,Korsel, Saudi Arabia dan Kanada.

"Kebutuhan pasar ekspor relatif tinggi dari tahun ke tahun, namun Jateng belum mampu memenuhinya karena wilayah pengembangannya terbatas," kata Asramin, Kabid Perdagangan Internasioal Depperindag Jateng. Sentra produksi jamur merang di Jateng saat ini baru di dua wilayah, yakni Wonosobo dan Brebes, padahal daerah lainnya terutama dataran tinggi potensial bagi pembudidayaan komoditas itu. Di Jakarta, perusahaan yang kosentrasi pada pengembangan budidaya jamur merang adalah PT Swausaha Merang Indonesia (SMI).

Perusahaan ini menggunakan pola kemitraan bagi petani yang sebelumnya diberikan pelatihan dan fasilitas selama proses produksi.

Menurut Dirut SMI Raindy Intan Wijaya, sementara ini kapasitas produksi jamur merang mitranya baru ditujukan untuk pasar lokal terutama pasar swalayan seperti Makro, Alfa, Matahari Swalayan serta restoran. "Sampai saat ini untuk pasar lokal saja yang sudah dipenuhi baru 20%, sedangkan permintaan pasar ekspor dari Hong Kong sama sekali belum mampu kami jamah," katanya.

Di swalayan lokal, harga eceran jamur merang berkisar Rp 11.000-Rp12.500 per kg, sedangkan harga di tingkat petani mencapai Rp 5.800 per kg.

Menurut Raindy, potensi keuntungan petani per kumbung sebesar Rp 600.000 per bulan. Dengan asumsi petani memiliki delapan kumbung penghasilan yang diperoleh sebesar Rp 4,2 juta per bulan. Untuk menurunkan risiko budidaya jamur merang, jelas dia, para petani harus menerjuni usaha jamur secara
profesional dengan menjaga standard kualitas produk serta memperkuat basis pemasarannya. Berbeda dengan jenis jamur lain, jamur merang tumbuh subur dengan tingkat suhu 31-32 derajat celcius sehingga dapat dibudidayakan di dataran rendah seperti halnya Jakarta.

Jamur kuping

Jenis jamur yang juga banyak permintaan adalah jamur kuping. Jenis jamur ini banyak dibudidayakan petani di Desa Cangkringan, Sleman, Yogyakarta dengan dukungan Dinas Pertanian setempat terutama dalam memasok benihnya. Menurut Semedi, sekretaris Koperasi Jamur Kuping Cangkringan, sementara ini
tidak ada masalah dalam pemasaran produksi jamur karena sudah ada orang Taiwan yang siap menampung produksi. Sejumlah pedagang dari Surabaya,Semarang bahkan Jakarta datang sendiri ke Cangkringan untuk membeli jamur untuk kemudian dipasarkan ke pasar swalayan dan restoran. Para petani, jelas Semedi, menjual jamur kuping dalam kondisi kering dengan harga di tempat Rp 25.000 per kg, sedangkan harga di supermarket Rp 40.000 sampai Rp 45.000 per kg. Arief Widodo, seorang petani jamur kuping menyebutkan
potensi penghasilan petani dari budidaya jamur kuping per kumbung sekitar Rp 700.000 per bulan sehingga dengan memiliki dua kumbung saja seorang petani mendapat Rp 1,4 juta per bulan.

Keberadaan koperasi, jelas Arief, sejak awal untuk meningkatkan akses pasar terutama guna memanfaatkan peluang ekspor. Namun kapasitas produksi dan dukungan permodalannya belum menjangkau sehingga masih kosentrasi pada pasar lokal. Dia mengharapkan koperasi kelak mengusahakan peningkatan produksi dengan menambah jumlah kepemilikan kumbung serta memperoleh mitra yang memungkinkan untuk bekerja sama delam kegiatan ekspor. Jika melihat perkembangan usaha jamur tampaknya bisnis itu tidak boleh lagi dilihat
sebelah mata. Bisnis ini bisa dikembangkan lebih maksimal mengingat perusahaan asing pun lebih dahulu meliriknya.

Industri Ekspor Kelapa Indonesia

Baru segelintir produsen Indonesia mencetak keuntungan dari proses nilai tambah kelapa. Dari buah murah yang berlimpah di Indonesia ini, pasar Eropa “melahap” minyak masak berkualitas terbaik, pengisi jok Mercedes, briket termahal untuk barbeque, hingga sabun dan parfum.

Filipina saat ini merajai pasar ekspor dengan 125 jenis produk olahan kelapa. Sebaliknya, baru 25 jenis produk olahan diproduksi di Indonesia.Tahun 2005, Filipina mengantungi keuntungan ekspor kelapa senilai 757,3 juta dollar AS dari perkebunan seluas 3,1 juta ha. Pada saat yang sama, dengan perkebunan seluas 3,8 juta ha, nilai ekspor kelapa Indonesia hanya 228,7 juta dollar AS.

Beberapa anggota Fokpi merupakan industri pengolahan kelapa skala kecil dan menengah dengan beragam variasi produk. Produsen anggota Fokpi di Pangandaran, Jawa Barat, misalnya, mengekspor sabut kelapa untuk isian jok mobil ke Eropa, yakni sebanyak 120 ton per bulan. Dengan total lahan yang ditanami kelapa hampir satu juta hektar pulau jawa menyimpan potensi untuk pengembangan agribisnis kelapa di masa mendatang.

Daya saing produk kelapa terletak pada industri hilirnya, tidak lagi pada produk primer. Produk akhir yang sudah berkembang baik adlah Dessicated coconut (DC), coconut milk(CM), coconut charcoal(CCL), actived carbon (AC),Brown Sugar (BS),coconut fiber, coco peat, nata de coco dan Virgin coconut oil (VCO), coconut wood, Copra

Produk-produk seperti DC,CCL,AC,BS,CF sudah masuk pasar ekspor dengan perkembangan yang sanagat pesat. Permintaan pasar ekspor untuk produk olahan kelapa menunjukkan trend yang meningkat. Sebagai contoh pasar DC indonesia untuk ekspor mempunyai kecenderungan yang meningkat dalam 5 tahun terakhir, kecenderungan yang sama ditunjukkan oleh arang aktif.

Sebagai contoh adalah Roeswan seorang pengusaha coco fiber.Seluruh produksi berupa serat sabut dari petani ia tampung untuk memenuhi pasar ekspor. Di pasar internasional, harga cocofiber alias serat sabut US$200-US$205 per ton setara Rp2-juta pada kurs Rp10.000. Pendapatannya Rp44-juta.

Shengyang, produsen kasur pegas dan mebel, meminta pasokan 700 ton serat sabut untuk masa kontrak 12 bulan. Artinya, ia mesti menyiapkan rata-rata 58 ton tiap bulan selama setahun. Ia lebih berkonsentrasi untuk memenuhi permintaan Shengyang Xudong ketimbang importir lain. Di luar permintaan Korea dan Belgia, ‘Sebetulnya saya masih dapat menjual 5-10 kontainer per bulan,’ ujar Roeswan, pemilik PT Roesmetrix.

Pasar karbon dan arang aktif tak kalah besar. Ari Hardono, contohnya, memasarkan 20 ton arang aktif per bulan. Satu kg arang aktif hasil pembakaran 9-10 tempurung kelapa. Konsumennya rumah makan di Yogyakarta dan Jawa Tengah. Mereka menggunakan arang aktif sebagai bahan bakar. Dengan harga Rp1.200 per kg omzetnya Rp24- juta. Menurut produsen di Kabupaten Sleman, Yogyakarta, itu biaya produksi sekilo arang aktif Rp600 sehingga laba bersihnya Rp12-juta tiap bulan.

Pasar cocofiber alias serat sabut kelapa tak kalah empuk. Serat sabut juga multiguna antara lain sebagai pengisi jok mobil, jok kursi, kasur pegas, papan partikel, dan filter air. Dibanding busa, cocofiber lebih kuat melindungi per dan tidak mengundang kutu.

Pelaku bisnis serat sabut di berbagai kota kewalahan memenuhi tingginya permintaan. Asli Malin, salah satu contoh. Produsen serat sabut di Pariaman, Sumatera Barat, itu memproduksi 1,2 ton serat hasil olahan 18.000 sabut per hari. Jangankan memenuhi permintaan importir di Korea Selatan mencapai 10.000 ton per tahun, order eksportir di Jakarta saja belum ia layani sepenuhnya. Setiap pekan, eksportir di Jakarta memborong serat Rp1.800 per kg.

Pria kelahiran 17 April 1946 itu, memetik laba bersih Rp300 per kg. Kecil? Tunggu dulu. Dengan produksi 8,4 ton per pekan, laba bersihnya Rp2,5- juta atau Rp10-juta per bulan. Itu baru dari cocofiber. Produsen serat sabut berarti juga produsen cocopeat alias serbuk. Sebab, 70% dari kulit kelapa terdiri atas serbuk; 30% serat. Asli Malin menuai 90 ton cocopeat yang memberikan laba bersih Rp27-juta sebulan.

Artinya total jenderal laba bersih Malin dari pengolahan sabut mencapai Rp37-juta sebulan. Siapa tak tergiur laba menjulang? Mungkin karena itulah Zulhaidir Rawawi berhenti bekerja di perusahaan asing di Jakarta meski bergaji besar, fasilitas memadai, dan jabatan tinggi. Ia memilih menekuni bisnis cocopeat. Semua bermula dari tugas Zulhaidir sebagai general manager yang kerap memaparkan laporan keuangan kepada pemegang saham di Seoul, Korea Selatan.

Saat bertugas ke sana, ia menyempatkan diri mengunjungi sentra tanaman hias di Inchon, mirip Rawabelong, Jakarta Barat. Di sanalah ia melihat cocopeat bikinan Sri Lanka. Ia menawarkan diri untuk memasok dan diluluskan. Pada 1999 Zul memutuskan berhenti bekerja setelah rutin mengekspor cocopeat selama setahun. Kini ia rutin mengirimkan 22 ton cocopeat per bulan memenuhi permintaan seorang importir di Inchon, Korea Selatan.

Balok cocopeat yang ia ekspor berukuran 80 cm x 80 cm x 80 cm berbobot 5 kg. Satu kg cocopeat berasal dari 2,5 kg sabut kelapa. Menurut dia biaya produksi 1 kg cocofibre dan 2 kg cocopeat-dari 5 kg sabut-Rp1.600. Itu total biaya karena cocopeat dan cocofibre dihasilkan dari satu kesatuan bahan. Bila memproduksi cocopeat, pasti menghasilkan cocofiber atau sebaliknya. Harga jual cocopeat di pasar ekspor mencapai Rp2.600 per kg sehingga omzetnya Rp57,2-juta.

Zulhaidir memperoleh 17 ton cocofiber per bulan. Serat sabut itu ludes terserap produsen kasur pegas di pasar domestik. Dengan harga jual Rp2.200 per kg, ia menangguk omzet Rp37,4-juta saban bulan. Laba bersih penjualan cocopeat dan cocofiber mencapai Rp22-juta sebulan. Zul sebetulnya masih mampu memasarkan hingga 3 kontainer cocopeat lagi. Sayang, produksinya masih terbatas. Ia bisa memasarkan produk cocopeat milik produsen lain asal sesuai standar mutu. Apalagi sejak Desember 2008 ia juga mesti memenuhi order Garden Landscape. Importir di Singapura itu meminta pasokan rutin papan tempat tumbuh anggrek berbahan baku cocopeat.

Garden Landscape meminta kiriman 10.000 papan berukuran 50 cm x 20 cm x 2 cm per bulan. Soal peluang bisnis cocopeat menurut Zul pasar terbuka luas. Zul yang menginvestasikan Rp200-juta ketika memulai bisnis. Sebagai gambaran, sebuah produsen springbed memerlukan 20 ton cocofiber per bulan. Belum lagi produsen springbed asing yang mengajak bekerja sama. Setidaknya ada 4 produsen asal China dan 2 asal Vietnam yang minta pasokan rutin cocofiber kepada Zul.

Olahan limbah kelapa lain adalah arang aktif. Idealnya pengolahan arang aktif terpadu dengan asap cair. Namun, beberapa produsen hanya mengolah arang aktif. Boleh jadi lantaran teknologi produksi asap cair terbilang baru di Indonesia. Djaya Suryana sejak 2002 memasok arang aktif ke sebuah perusahaan di Tanjungbintang, Provinsi Lampung.
Ia membersihkan arang hasil pembakaran tempurung kelapa di mesin diesel 30 PK. Melalui ban berjalan arang lolos sortir masuk ke mesin penghancur. Ketika keluar arang melewati saringan baja sehingga hasilnya seragam. Djaya memasarkan 3.000 ton arang aktif per bulan. Masih ada 5.000 ton permintaan rutin per bulan yang belum dapat Djaya penuhi. Sayang, ia merahasiakan harga jual ke produsen karbon aktif.

Lima puluh rupiah tak bisa dibilang kecil karena secara akumulasi laba bersihnya Rp150-juta. Memang dibanding laba Doddy Suparno dan Oka Bagus Panuntun, keuntungan Djaya lebih kecil. Doddy mengutip laba Rp1.500 per kg arang aktif. Harga jual saat ini Rp4.500 per kg. Menurut Doddy biaya produksi per kg briket Rp3.000. Dari pembakaran 15 ton tempurung ia memperoleh 5 ton arang aktif per bulan.

Mereka lalu menghancurkan arang dan mengolahnya menjadi briket. Margin perniagaan barang gosong itu Rp7,5-juta sebulan. Mestinya laba Doddy lebih besar jika saja setiap bulan mampu memenuhi permintaan rutin dari Yunani dan Timur Tengah masing-masing 22 ton dan 88 ton.


Di luar olahan ‘limbah kelapa’ itu sebetulnya masih ada produk turunan lagi seperti tepung tempurung seperti digeluti oleh Agus Setiawan juga kopra putih (white copra)suppliers

Pria kelahiran 11 Agustus 1971 itu menggiling tempurung kelapa menjadi tepung. Rendemen 90%-10 kg tempurung menjadi 9 kg tepung.

Volume produksi ‘baru’ 50 ton sebulan terserap sebuah pabrik obat nyamuk. Tepung batok bahan baku obat nyamuk bakar. Dengan harga jual Rp2.500 dan biaya produksi Rp1.000, laba bersihnya Rp75- juta. Menurut Agus pasar tepung terbentang luas. Ia belum sanggup melayani order rutin 1.350 ton tepung per bulan.

Sabut dan tempurung kelapa yang selama ini dipandang sebelah mata ternyata komoditas prospektif yang menjanjikan laba besar.

Monday, August 15, 2011

Gaharu, Emas Hijau Indonesia

Gaharu memiliki nilai harga mulai dari 100.000 – 30 juta/kg tergantung asal species pohon dan kualitas gaharu. Sedangkan minyak gaharu umumnya disuling dari gaharu kelas rendah (kemedangan) memiliki harga mulai dari 50.000-100.000/ml.

Sebanyak 2000 ton/tahun gaharu

memenuhi pusat perdagangan gaharu di Singapura. Gaharu tersebut 70% berasal dari Indonesia dan 30% dari negara-negara Asia Tenggara lainnya. Hutan alam sudah tidak mampu lagi menyediakan gaharu. Gaharu hasil budidaya merupakan alternatif pilihan untuk mendukung kebutuhan masyarakat dunia secara berkelanjutan.

GAHARU merupakan Komoditi Elit, Langka & Bernilai Ekonomi Tinggi
Gaharu merupakan produk ekspor. Tujuan ekspor adalah negara-negara di Uni Emirat Arab, Arab Saudi, Singapore, Taiwan, Jepang, Malaysia.

Pohon Gaharu (Aquilaria spp.) adalah species asli Indonesia. Beberapa species gaharu komersial yang sudah mulai dibudidayakan adalah: Aquilaria. malaccensis, A. microcarpa, A. beccariana, A. hirta, A. filaria, dan Gyrinops verstegii. serta A. crassna asal Camboja.

Link terkait:


pokok gaharu
kayu gaharu
pohon gaharu
gaharu manufacturers
gaharu oil
gaharu offers
gaharu supplier
buyers gaharu wood

Sunday, August 14, 2011

Produk Unggulan Ekspor Indonesia

Profil ekspor Indonesia telah berubah tidak lagi didominasi oleh 10 komoditi utama ekspor namun sudah mulai terdiversifikasi.

Komoditas yang memiliki prospek ekspor tinggi antara lain ; tekstil dan produk tekstil (TPT), alas kaki, otomotif,kertas,kelapa sawit (CPO),kakao olahan dan biji kakao,Kopi,karet dan produk karet.

Hingga kini produk ekspor Indonesia paling banyak dijual ke Jepang.

Sementara data BPS menunjukan ekspor non migas Indonesia ke Jepang Maret mencapai angka terbesar yaitu 1,53 miliar Dolar AS disusul Amerika Serikat dan China

Sayangnya, produk industri yang diekspor masih didominasi oleh barang mentah atau barang setengah jadi. Nilai ekspor tertinggi terdapat di komoditas kelapa sawit dengan nilai US$ 17,5 miliar , lalu disusul produk tekstil senilai US$ 11 miliar. Produk dengan nilai terbesar ketiga adalah olahan karet dengan nilai US$ 9,5 miliar.



“Dulu profil ekspor nonmigas kita terdiri dari 60 persen 10 komoditi utama, sekarang porsinya turun menjadi 35 persen,”

Semakin banyak komoditi potensial yang semakin kompetitif di pasar global seperti makanan olahan, perhiasan, ikan dan produk ikan, kerajinan dan rempah-rempah, kulit dan produk kulit, peralatan medis, minyak atsiri, peralatan kantor dan tanaman obat. “Tapi produknya masih tradisional, belum benar-benar diolah,”

Diversifikasi tujuan ekspor juga sudah terjadi dengan berkurangnya porsi ekspor ke negara tujua utama seperti Amerika Serikat, Jepang dan Uni Eropa dari sekitar 50 persen menjadi 30 persen. “Sekarang ekspor kita lebih banyak ditujukan ke Asia dan negara-negara berkembang lainnya, porsinya sekitar 45 persen,”

Sumber: BPS 2011

Friday, August 12, 2011

Bisnis Ekspor Kopra Putih Yang Menarik


Bila Anda Membutuhkan Kopra Putih silahkan Hubungi Kami..!

Manado – Kopra putih ( white copra ) memiliki kualitas yang jauh lebih baik dari kopra asapan sehingga Bangladesh berminat membeli komoditi tersebut dengan harga dua kali lipat dari harga kopra asapan.

Jane, salah satu eksportir kopra di Sulut mengatakan kopra putih produksi Sulut memang dinilai kualitasnya yang terbaik. Katanya, permintaan pembeli Bangladesh berkisar 600 ton setiap bulan, dan saat ini sedang dihimpun stok untuk pengiriman ke negara tersebut.

Menurut Jane, kopra putih produksi petani Sulut dinilai punya keunggulan dari sisi kualitas dibanding negara lain, makanya pembeli di negara tersebut menyatakan minat membeli dalam jumlah cukup besar.

Sementara itu, Kepala Bidang Perdagangan Luar Negeri, Disperindag Sulut, Hanny Wajong mengatakan, kopra putih merupakan salah satu produk turunan kelapa yang terus dikembangkan di Sulut, namun realisasi ekspornya belum banyak.

“Adanya permintaan Bangladesh diharapkan menjadi awal ekspor kopra putih merambah ke ke berbagai negara,” kata Wajong.
Sekjen Asosiasi Petani Kelapa Sulut (Apeksu), Emil Mamesah, mengatakan, bila ekspor kopra putih terbuka, akan menguntungkan bagi petani mengingat harga jual komoditas tersebut dua kali lebih mahal ketimbang kopra asapan.

Katanya, Saat ini, sebagian besar petani Sulut masih mengolah kopra asapan, tak heran bila pendapatan hasil perkebunan tersebut belum maksimal,” kata Emil.

Kopra asapan terbanyak dijual ke pabrik minyak goreng untuk diolah menjadi minyak kelapa kasar (Crude Coconut Oil/CCO), sedangkan ekspor, kata Emil, ada tetapi belum banyak.

Produksi kopra Sulut dalam satu tahun diperkirakan mencapai 300 ribu ton, dengan melibatkan sekitar 150 ribu keluarga petani tersebar di 15 kabupaten/kota di Sulut

Tuesday, April 12, 2011

Kopi Luwak Untuk Ekspor


Bertanyalah kepada orang Inggris, kopi apa paling mahal di dunia, maka bangsa peminum teh itu akan menjawab kopi yang diambil dari kotoran musang. Anggapan ini mungkin sama dengan masyarakat tradisional Indonesia.

Mengapa kopi luwak termahal? Di Inggris kopi yang bekas dimakan musang (Paradoxurus hermaphroditus) dan keluar lagi bersama kotorannya itu dijual dengan harga 50 poundsterling atau hampir Rp 1 juta. Demikian dilaporkan Daily Mail dalam situs internetnya

Tuesday, February 22, 2011

Gula Pasir Organik


Gula pasir organik yang lebih sehat, dahulu lebih dikenal dengan sebutan gula semut atau palm suiker.

Komoditas ini gula pasir organik ini juga diekspor ke luar negeri

Monday, January 3, 2011

Peluang Ekspor Belut Belum Tergarap

TEMPO Interaktif, Karawang - belut (anguilla sp.) atau dikenal sebagai belut air ternyata merupakan salah satu komoditas berharga. Kalau Anda mengenal ikan Salmon sebagai lauk dengan kandungan DHA paling tinggi, maka kamus menu dapur Anda mungkin perlu ditambah dengan daging belut. Pasalnya, menurut penelitian kandungan DHA belut, komoditas asli Indonesia, ini ternyata jauh lebih tinggi dari Salmon.

Di Jepang, yang masyarakatnya gemar mengkonsumsi ikan segar, daging belut atau dikenal sebagai Unagi merupakan menu favorit restoran. Tak heran kalau belut asli Jepang (anguilla japonica) sampai masuk daftar hewan langka yang tak boleh diperdagangkan oleh Konvensi Perdagangan Internasional untuk Hewan-Hewan Langka (CITES). Tapi di Indonesia tentunya ini adalah peluang besar yang harus digarap.

Kepala Balai Layanan Usaha Tambak Pandu Karawang I Made Suitha mengatakan permintaan Jepang atas belut mencapai 100 ribu ton per tahun. "Kalau ekspor kita bisa memenuhi seperempatnya saja sudah bagus untuk kita," kata Made dalam Press Tout Kementrian Kelautan dan Perikanan, Sabtu pekan lalu.

Selama ini, kata Made, Indonesia baru mengekspor belut dalam bentuk benih. Karena itu, pada 2010 ini, Pemerintah menargetkan akan mengekspor belut siap dikonsumsi. "Dengan begitu ada nilai tambahnya," ujarnya. Tak hanya Jepang sebagai peminat utama, pasar Korea Selatan, Vietnam, dan Taiwan juga besar.

Untuk pangsa pasar Jepang, yang menjadi produk unggulan adalah jenis anguilla bicolor yang harganya mencapai Rp 55 ribu per kilo gram. Sebelumnya belut jenis ini harganya sempat mencapai Rp 105 ribu per kilo gram.

Selain jenis bicolor, Indonesia mempunyai dua jenis lain yang juga laku di pasaran Internasional, yaitu jenis marmorata dan renhati. Di pasar harga marmorata mencapai Rp 150 ribu per kilo gram sementara renhati mencapai Rp 300 ribu per kilo gram. "Peminat marmorata mencapai pasar Amerika Serikat," kata Made.

belut jenis renhati, tadinya banyak dikembangkan di Australia, tapi ternyata di sana tak bisa bertumbuh optimal karena pengaruh musim dingin. "belut jantan hanya bisa bertumbuh hingga setengah kilo gram dan yang betina hanya sekitar dua kilo. Kalau di Indonesia, yang jantan bisa mencapai dua kilo gram dan yang betina bisa sampai lima kilo gram," ujar Made.

Sejak bulan lalu, Australia bekerja sama dengan Indonesia untuk pengembangan belut jenis ini. Saat ini proses budidaya sudah dipindahkan dari Karawang ke Suri Tani Pemuka di Probolinggo.

Sayangnya, menurut Made, tambak belut di Indonesia belum tergarap optimal. Dari target pembesaran 15 kilo gram per meter kubik baru tercapai 10 kilo gram per meter kubik.

Karena itu, agar keinginan mengekspor segera terlaksana pemerintah menjalin kerja sama dengan perusahaan dari Jepang, Asama Industry Co. Ltd. untuk belajar mengelola tambak pembesaran belut sesuai standar pasar Jepang. "Pada tanggal 24 Maret ini mereka akan menindaklanjuti perkembangan budidaya di sini,"tambah Made.

Menurut Made, konsumen Jepang agak ceriwis soal kualitas. Mereka, misalnya, hanya mau belut yang kadar lemak dagingnya rendah (tak boleh lebih dari 10 persen). belut-belut tujuan ekspor itu pun musti diberi pakan khusus berupa pasta yang dipercaya mempengaruhi rasa daging. Konsumen Jepang, kata Made, juga lebih menyukai belut dengan ukuran sekitar 250 sampai 400 gram per ekornya.

Made mengungkapkan persaingan dalam pasar belut mulai ketat, termasuk sejumlah hambatan non-tarif dalam perdagangan internasional. Bahkan di Jepang juga ada mafia bisnisnya. "Sekarang persyaratan masuk ke pasar Jepang semakin bermacam-macam. Bahkan ada persyaratan proses budidaya harus dilakukan di dalam ruangan," tutur Made.


Permintaan dunia untuk belut per tahun mencapai 230.000 ton. Sementara permintaan Jepang mencapai 120.000 ton per tahun.

Sejauh ini, menurut Saut, Cina menjadi produsen utama belut yang memasok 70% permintaan dunia. Sementara produsen belut lainnya selain Indonesia adalah Vietnam dan Bangladesh.

Ekspor belut pertama kali dilakukan Indonesia ke Taiwan pada tahun 2007, sebesar 300 kilogram (kg). Ekspor belut lainnya juga dilakukan ke Hongkong, Singapura, Jerman, Italia, Belanda, dan Amerika Serikat.

Penyebaran belut sendiri sangat luas di tanah air. Ada sekitar 12 spesies belut yang tersebar di pantai barat Pulau Sumatera, pantai pesisir selatan Pulau Jawa, Bali, NTB, NTT, pantai timur Pulau Kalimantan, perairan Sulawesi, Maluku, hingga di perairan Papua.

Cara budidaya belut super
Peluang Bisnis Ekspor Terbuka Lebar, Dengan Ide Besar Kita Bisa Bangun Usaha Ini Tanpa Modal. Bila Ingin Belajar Bisa Bergabung di Forum BDR Bila anda adalah supplier untuk barang-barang ekspor, dengan senang hati kami menerima kerjasama pemasaran untuk produsesn dan marketing, silahkan kontak kami

Artikel Terbaru Forum Bisnis Ekspor Indonesia